Negara Kesejahteraan, ditilik dari sejarahnya konsep negara kesejahteraan (welfare state) tidak hanya mencakup deskripsi mengenai sebuah cara pengorganisasian kesejahteraan (welfare) ataupun pelayanan sosial (social services).Melainkan sebuah konsep normatif, sistem pendekatan ideal yang menekankan bahwa setiap orang harus menerima pelayanan sosial sebagai haknya.(Spicker,1995)
Negara kesejahteraan (welfare state) merupakan sistem pemerintahan di mana negara bertanggungjawab besar terhadap kesejahteraan warganya.Welfare State mempunyai nama yang beda-beda di tiap negara. Di Jerman misalnya,disebut Sozialstaat/Social State; Swedia Folkhemmet; Perancis“providence state” (Etat-providence); Spanyol estado del bienestar (state of well-being); dan Portugis estado de Bem-Estar-Social yang bermakna well-being-social state.
Di negara barat 'welfare state' digunakan sebagai stategi "penawar racun" kapitalisme yakni dampak ekonomi dari pasar bebas.lagaknya welfare state ini sering disebut dengan kapitalisme yang 'baik hati'(compassionate capitalism) (Suharto, 2008:58) peyamaran dengan model yang berbeda,oya, negara kesejahteraan tersebut dianut oleh negara kapitalis dan demokratis seperti AS, Kanada, Selandia Baru termasuk negara Indonesia.Sedangkn negara bekas jajahan Uni Soviet dan Blok timur tidak menganut 'Welfare State' karena mereka bukan negara kapitalis maupun demokratis.
Adapun negara yang tidak ambil bagian dalam kesejahteraan rakyatnya disebut welfare society. Ini adalah antonim dari welfare state yang sulit ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia.Welfare
Society dipengaruhi oleh paham konservatif dengan azas subsidiarita yang berarti bila masyarakat,perorangan atau swasta dapat mengusahakan sendiri kesejahteraannya maka hendakanya diserahkan kepada masing-masing warga negara
Menurut J.M. Keyness dan Smith (2006), ide dasar negara kesejahteraan beranjak dari abad ke-18 ketika Jeremy Bentham (1748-1832) mempromosikan gagasan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin the greatest happiness (atau welfare) of the greatest number of their citizens. Bentham menggunakan istilah ‘utility’ (kegunaan) untuk menjelaskan konsep kebahagiaan atau kesejahteraan. Berdasarkan prinsip utilitarianisme yang ia kembangkan, Bentham berpendapat bahwa sesuatu yang dapat menimbulkan kebahagiaan ekstra adalah sesuatu yang baik . Sebaliknya, sesuatu yang menimbulkan sakit adalah buruk. Menurutnya, aksi-aksi pemerintah harus selalu diarahkan untuk meningkatkan kebahagian sebanyak mungkin orang. Gagasan Bentham mengenai reformasi hukum, peranan konstitusi dan penelitian sosial bagi pengembangan kebijakan sosial membuat ia dikenal sebagai “bapak kesejahteraan negara” (father of welfare states). (Edi Suharto/Welfare State/2006 5)
Di era modern ada tokoh seperti Sir William Beveridge (1942) dan T.H. Marshall (1963). Beveridge dalam laporannya mengenai Social Insurance and Allied Services menyebutkan ada lima musuh yang harus diperangi, yakni: ‘Want’ (kekurangan), ‘Squalor’ (kemelaratan), ‘Ignorance’ (kebodohan), ‘Disease’ (penyakit) dan ‘Idleness’ (kemalasan) (Bessant,et.al.,2006:92).
Dalam laporan itu, Beveridge mengusulkan sebuah sistem asuransi sosial yang komprehensif yang dipandangnya mampu melindungi orang dari buaian hingga liang lahat (from cradle to grave)
(Suharto,2008: 59).
Welfare
state dicirikan dengan kebijakan yang pro pelayanan sosial. kebijakan publiknya bersifat pelayanan (service), bantuan (charity), perlindungan (protection), atau pencegahan (prevention) pada masalah-masalah sosial.Model kebijakannya kontras dengan negara non-welfare state yang pro terhadap pasar, ditandai dengan kebijakan ekonomi dan efisiensi. Misalnya mengutamakan stabilitas, pencabutan subsidi dan menggenjot pertumbuhan ekonomi.
Indonesia pernah menerapkan bantuan sosial yaitu Bantuan Langsung Tunai (BLT). Tapi ini menurut saya justru kontraproduktif karena diberlakukan sebagai kompensasi atas kenaikan BBM.
BLT diterapkan dengan skema means-tested (tes penghasilan). Penerima disyaratkan mempunyai penghasilan di bawah jumlah tertentu. Akibatnya orang menjadi terjebak pada penghasilan kecil karena takut tidak mendapat bantuan. Inilah yang disebut dengan poverty trap (jebakan kemiskinan).
Terbukti masyarakat yang takut tidak mendapat bantuan, mereka mengaku miskin akan tetapi akan terbalik ketika ada pencatatan keluarga miskin mereka enggan dicatat (karena hanya dalam catatan saja)
Oleh para kritikus, Indonesia sering diletakkan pada model minimal. Ini karena pelayanan sosial masih bersifat selektif minimum dan dilakukan secara ad hoc atau parsial.
Meskipun sejak tahun 2014 ini Indonesia menerapkan BPJS kesehatan sebagai konsekuensi dari UU SJSN 2004. Sehingga sah-sah saja jika dalam batas tertentu, Indonesia dikelompokkan dalam model Bismarck.
Referensi :
*Buku Pak Edi Suharto
*Ilmu Kesos (Pak Miftachul Huda M.si)
0 komentar:
Posting Komentar